Selasa, 23 Agustus 2011

Ramadan, Idul Fitri, Syawal












Ramadan, Idul Fitri, Syawal
Oleh DEDE NURROSYID


Daftar Artikel

Perintah dan Target Puasa di Bulan Ramadan

Nilai-nilai Istimewa di Bulan Ramadan

Peran Penting Zakat

Silaturahim dalam Atmosfer Lebaran

Manfaat Silaturahim

Mudik dan Urbanisasi

Makna Idul Fitri

Kandungan Makna Lebaran Ketupat




Perintah dan Target Puasa di Bulan Ramadan
 Oleh Dede Nurrosyid


“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah (2) : 183). Dalam ayat tersebut secara garis besar dapat ditinjau dua hal yang berkaitan dengan puasa. Yang pertama adalah perintah atau kewajiban berpuasa.



Perintah puasa yang kita jalankan sekarang ini memiliki sejarah panjang dalam perkembangan manusia. Pelaksanaan puasa sebenarnya tidak hanya dikenal dalam sejarah Islam, tetapi juga pada umat sebelum kerasulan Muhammad. Bahkan dalam tradisi-tradisi di luar agama Ibrahim juga dikenal praktik puasa meskipun dengan niat dan cara berbeda.



Puasa umat terdahulu (sejak zaman Nabi Adam) dan umat sekarang berbeda dalam hal teknis, namun memiliki subtansi yang sama. Baik puasa sekarang maupun umat terdahulu intinya adalah mengembalikan supremasi spiritual atas dunia fisik dan psikis.



Nabi Adam dan istrinya, Hawa, diperintahkan “berpuasa” untuk tidak memakan buah khuldi. Menurut para pakar tafsir, “buah khuldi” merupakan kata simbolik yang memiliki banyak makna. Salah satu maknanya adalah obyek yang menimbulkan rasa ingin tahu dan nafsu manusia untuk hidup kekal dengan mengejar dan memiliki kenikmatan fisikal, sehingga bisa menjauhkan manusia dari Allah SWT.



Namun, Nabi Adam dan Hawa tidak mampu mengendalikan diri dari godaan setan. Mereka melanggar “perintah berpuasa”, sehingga Allah pun menurunkan “siksa” bagi mereka dengan dikeluarkan dari surga (simbol kenikmatan) menuju dunia (simbol cobaan).



Nabi Daud juga mengajarkan puasa dengan berselang hari. Kemudian Maryam, ibu Nabi Isa, mengajak berpuasa untuk menahan diri dan tidak banyak berbicara ketika menghadapi kondisi lingkungan sosial yang tidak berguna. Dalam konteks sekarang, Maryam mengajak kepada kita untuk menahan diri agar tidak terjebak dalam dunia yang bisa mengotori hati dan pikiran.


Dari hal-hal yang telah diuraikan tersebut maka dapat dipahami bahwa perintah puasa tidak saja memiliki kesinambungan dan kelanjutan dalam sejarah manusia, tetapi juga mengandung pendidikan bagi pengembangan dan pembersihan diri. Perintah puasa, termasuk praktik dan pelaksanaannya, kemudian disempurnakan oleh Islam yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw.

Hal kedua yang berkaitan dengan puasa adalah takwa yang menjadi target puasa. Dari hal ini dapat dipahami bahwa berpuasa merupakan suatu sarana yang dapat mengubah manusia yang tidak bertakwa menjadi manusia yang bertakwa. Perubahan itulah yang sebenarnya menjadi inti ibadah puasa.



Tidaklah mudah menjadikan bulan Ramadan sebagai momentum perubahan untuk meraih derajat takwa. Pelaku harus memiliki niat yang kuat dan tujuan yang benar. Bukan sekadar niat menahan lapar, haus, dan nafsu syahwat, tetapi niat untuk berubah.


Kesuksesan meraih perubahan menjadi manusia bertakwa akan terlihat ketika setelah bulan Ramadan. Orang yang sukses di bulan Ramadan akan memiliki kekuatan rohani yang sangat kuat sehingga orang tersebut tidak lupa diri sekalipun mendapat kenikmatan duniawi yang sangat besar. Dan puasa yang sukses akan memberi pengaruh yang baik terhadap peningkatan kualitas diri. 

***

Penulis
DEDE NURROSYID
Penulis/editor artikel dan buku

 

Nilai-nilai Istimewa di Bulan Ramadan
Oleh Dede Nurrosyid 

Puasa di bulan Ramadan bagi umat Islam merupakan salah satu ibadah wajib dan salah satu Rukun Islam. Bulan Ramadan sendiri merupakan bulan yang penuh dengan nilai-nilai istimewa.



Bulan Ramadan adalah bulan utama saat pintu surga dibukakan dan kita meminta agar Allah tidak menutupnya lagi bagi kita. Inilah saat pintu neraka ditutup dan kita memohon agar Allah tidak membukakannya lagi bagi kita. Setan-setan terbelenggu dan kita berdoa kepada Allah agar mereka tidak lagi menguasai kita.



Ibadah puasa selama bulan Ramadan adalah momentum besar penempaan jiwa. Kita belajar mengendalikan diri, menahan diri, bahkan untuk hal-hal yang halal pada bulan lainnya seperti makan dan minum di siang hari. Puasa juga berarti menahan diri dari hal-hal yang dilarang Allah seperti berdusta, bersumpah palsu, berkata kotor, dan bergunjing. Inilah saat-saat besar bagi kelahiran kerakter takwa pada diri kita.



Ramadan adalah bulan ketika kita diseru mengasihi anak yatim, bersedekah kepada fakir miskin, memuliakan orang tua dan menyayangi yang muda. Inilah bulan saat kita diminta menyambung tali silaturahim, menjaga lidah, menahan pandangan atas apa yang tidak halal dipandang, dan menahan pendengaran dari apa yang tidak halal didengar.



Rasulullah Muhammad saw. menggelari Ramadan sebagai syahrul mubarak. Inilah bulan yang penuh berkah, rahmat dan ampunan bagi umat yang mengisinya dengan kesalehan. Bulan ini merupakan waktu yang di dalamnya penuh dengan nilai-nilai amal manusia yang lebih utama. Napas-napas kita menjadi tasbih, amal-amal diterima, dan doa-doa dikabulkan. Barang siapa membaca satu ayat Alquran sama dengan khatam Alquran; salat sunah mendapat pahala salat wajib; salat wajib dibalas 70 kali; dan barang siapa selesai salat, kemudian berdoa, saat itulah Allah memandang kepadanya dengan rahmat-Nya.



Ramadan adalah bulan prestasi dan kemenangan umat Islam. Pada bulan ini Alquran diturunkan. Pada bulan ini juga kaum Muslimin pada zaman Rasulullah memenangkan banyak pertempuran melawan kaum kafir, musyrik, dan munafik. Bahkan, Proklamasi Kemerdekaan negeri kita pun terjadi di bulan Ramadan.



Nabi Muhammad saw. merasa sedih ketika bulan Ramadan akan berlalu dan bergembira ketika bulan Ramadan datang. Perasaan Rasul itu tidaklah mengherankan karena mengingat begitu istimewanya bulan Ramadan, dan sebaiknya perasaan seperti itu juga hadir dalam diri setiap umat Islam. Seseorang yang sudah merasakan betul-betul kenikmatan menjalani puasa dan melakukan berbagai aktivitas untuk mendekatkan diri kepada Allah di bulan Ramadan maka orang tersebut akan berusaha senantiasa menghadirkan semangat Ramadan.


Ada beberapa hal yang bisa dilakukan supaya semangat Ramadan tidak turun. Pertama, bersyukur karena Allah telah mempertemukan kita dengan Ramadan dan senantiasa berdoa semoga Allah berkenan mempertemukan kita dengan Ramadan di masa mendatang. Kedua, pertahankan segala rutinitas dan amal ibadah selama Ramadan, dan akan lebih mantap jika ditingkatkan lagi. 

Ketiga, lakukanlah amal ibadah yang mendukung pada kesempurnaan ibadah puasa dan menghidupkan makna Idul Fitri. Amal ibadah tersebut diantaranya berpuasa enam hari di bulan Syawal dan mempererat silaturahim. Puasa enam hari di bulan Syawal hukumnya sunah. Salah satu hikmah puasa di bulan Syawal adalah sebagai wujud syukur kepada Allah karena telah diberikan kesempatan berjumpa dengan Ramadan. Sementara silaturahim adalah salah satu penunjang kesempurnaan amal ibadah. Silaturahim merupakan sarana untuk saling bermaafan dan bersama-sama mendapatkan surga. Wallahualam.  

***

Penulis
DEDE NURROSYID
Penulis/editor artikel dan buku


Peran Penting Zakat
Oleh Dede Nurrosyid

 
Zakat merupakan salah satu Rukun Islam. Hukum zakat adalah wajib bagi umat Islam yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Sebagian ahli fikih mengatakan bahwa sedekah wajib dinamakan zakat sedangkan sedekah sunah dinamakan infak. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa infak wajib dinamakan zakat sedangkan infak sunah dinamakan sedekah.



Menurut bahasa, zakat berarti tumbuh, berkembang atau bertambah. Dapat pula diartikan membersihkan atau mensucikan. Menurut syariat, zakat merupakan nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta tertentu, menurut sifat-sifat tertentu, dan untuk diberikan kepada golongan tertentu.



Dalam Alquran surat At-Taubah (9) ayat 60 ditegaskan, ada delapan golongan (asnaf) yang berhak menerima zakat. Pertama adalah fakir, kedua adalah miskin.



Antara istilah fakir dan miskin tidak memiliki perbedaan apabila ditinjau dari segi kebutuhan. Keduanya adalah orang-orang yang sedang membutuhkan bantuan karena mereka tidak mampu mencukupi kehidupannya. Di antara para fukaha ada yang membedakan kedua istilah itu, terutama pada segi kemampuan berusaha. Fakir adalah orang yang tidak memiliki harta dan kemampuan sama sekali untuk berusaha. Sedangkan miskin adalah orang yang memiliki kemampuan untuk berusaha, berbadan sehat, dan tidak cacat, namun hasil usahanya itu tidak mencukupi.



Ketiga adalah amil (pengurus zakat), yaitu orang yang diberi tugas untuk mengurus atau mengumpulkan dan membagikan zakat. Amil tidak memperoleh gaji atau upah selain dari pembagian zakat itu.



Keempat adalah muallaf qulubuhum, yaitu orang-orang yang sedang dijinakkan/dibujuk hatinya. Mereka adalah orang yang baru masuk Islam, yang imannya masih lemah, dan orang kafir yang ada harapan masuk Islam. Kelima adalah ar-riqab, yaitu hamba sahaya yang telah dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebusi dirinya dengan sejumlah uang yang telah ditentukan.



Keenam, al-gharimun yaitu orang-orang yang berhutang. Orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Kadangkala mereka berhutang karena untuk mendamaikan dua orang yang berselisih atau untuk membeli kebutuhan pokok sehari-hari, sedangkan orang yang berhutang itu tidak mampu membayar hutangnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat walaupun ia mampu membayarnya.



Ketujuh adalah fisabilillah (pada jalan Allah), yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum Muslim. Ahli fikih menafsirkannya dengan para tentara yang ikut membantu perang secara sukarela, tanpa gaji tertentu yang diharapkan dari markas tentara. Kedelapan, ibnu sabil yaitu orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat dan mengalami kesengsaraan ketika dalam perjalanannya. Orang tersebut diberi zakat sekadar ongkos untuk sampai ke tempat tujuannya atau ke tempat hartanya.



Manfaat zakat bagi seorang muzakki (orang yang melaksanakan zakat) adalah dapat memberikan kepuasan batin. Dengan zakat, harta yang dimiliki seorang muzakki menjadi bersih dan ia akan merasakan ketenangan hati. Para muzakki berkeyakinan bahwa dalam harta mereka sesungguhnya ada hak Allah yang diperuntukkan bagi orang-orang fakir dan miskin. Para muzakki tidak rakus dan tamak terhadap harta yang dimilikinya dan inilah sesungguhnya hikmah penting dari ibadah zakat.



Zakat dapat membersihkan dan mensucikan jiwa muzakki apabila dikeluarkan secara benar. Benar yang dimaksud adalah zakat dikeluarkan dengan ikhlas, tanpa ada unsur pamer, dan tanpa menyakiti perasaan si penerima zakat (mustahik).


Apabila zakat dilakukan secara benar dan dikelola oleh lembaga yang amanah serta profesional maka zakat dapat mengatasi masalah kemiskinan. Orang-orang yang statusnya sebagai mustahik, setelah mereka menerima zakat ternyata dapat berubah menjadi muzakki dan mampu membayar zakat. Perubahan dari mustahik ke muzakki ini berarti terjadi pengurangan orang miskin.

***

Penulis
DEDE NURROSYID
Penulis/editor artikel dan buku

  
 

Silaturahim dalam Atmosfer Lebaran
Oleh Dede Nurrosyid
  
Kata Lebaran sudah tidak asing lagi bagi mayarakat di Indonesia. Entah sejak kapan kata ini muncul hingga marak digunakan. Begitu juga dengan definisi kata Lebaran itu sendiri belum jelas. Namun, saya pernah mendapat penjelasan tentang asal muasal kata Lebaran. Meski belum dapat dijamin ketepatan asal katanya, penjelasan ini cukup menarik perhatian.



Lebaran menurut asal katanya adalah lebar yang berarti luas, sehingga Lebaran dapat diartikan melebarkan atau meluaskan. Makna kata melebarkan adalah memperlebar persaudaraan dengan menyambung silaturahim. Memang, pada kenyataannya lebaran sering dijadikan waktu terbaik untuk menyambung dan menjaga silaturahim.



Kedudukan silaturahim dalam Islam begitu penting. Silaturahim adalah salah satu penunjang kesempurnaan amal ibadah dan pendukung kesempurnaan ibadah puasa. Silaturahim merupakan sarana untuk saling bermaaf-maafan dan bersama-sama mendapatkan surga.

 

Silaturahim diwujudkan dalam berbagai cara dan bentuk. Mulai dari berkirim SMS (pesan singkat) berisi ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri dan mohon maaf lahir batin, sampai perjuangan tanpa kenal lelah menuju kampung halaman atau biasa disebut mudik.



Ketika telepon seluler masih menjadi barang mewah dan langka, kartu lebaran marak digunakan sebagai penyambung silaturahim antar keluarga, kerabat dan teman. Orang-orang kemudian lebih memilih kartu lebaran online di internet sebagai media silaturahim daripada menggunakan kartu lebaran fisik.


Yang tak kalah menarik adalah cara orang-orang bersilaturahim mengunjungi saudara, kerabat dan sahabat. Beberapa hari menjelang Idul Fitri, ragam kendaraan di jalan raya mulai berubah. Mobil bak terbuka disulap menjadi mobil angkutan dengan dipasangi terpal. Kendaraan yang sebelumnya tidak layak jalan pun dipaksakan supaya jalan. Kendaraan roda dua ditumpangi empat orang, ditambah segunung tas dan oleh-oleh dari kota. Bajaj, becak dan sepeda pun dijadikan sarana angkutan, tak peduli seberapa besar lelah yang akan ditanggung. Namun, semua lelah akan sirna dan terbayar ketika tiba di kampung halaman bertemu dengan orangtua, keluarga, saudara dan teman-teman di kampung. Yang terpenting dari semua itu adalah silaturahim tetap terjaga. 
Begitulah potret perjuangan orang-orang untuk menyambung silaturahim dalam atmosfer Lebaran. Berapa banyak pemudik yang meninggal dunia akibat kecelakaan di jalan raya? Insya Allah, mereka sudah mendapat pahala bersilaturahim meski tidak pernah bertemu dengan orang-orang yang dituju.

***

Penulis
DEDE NURROSYID
Penulis/editor artikel dan buku

   

Manfaat Silaturahim
Oleh Dede Nurrosyid
 
Kedudukan silaturahim dalam Islam begitu penting. Silaturahim menjadi sarana untuk berbagi dan merekatkan kembali hubungan antara sesama manusia sehingga persatuan umat, toleransi dan rasa senasib sepenanggungan tetap terjaga. Silaturahim mengandung unsur tanggungjawab yang dapat memotivasi keikhlasan berkorban, saling memberi dan menerima tanpa mengharapkan imbalan apapun kecuali rida Allah SWT semata.



Silaturahim secara harfiah berasal dari dua kata. Kata pertama adalah silah atau shilatun yang bisa diartikan hubungan atau tali/ikatan. Kata yang kedua adalah rahimun atau rahim yang bisa diartikan sayang atau kasih sayang. Jadi, silaturahim dapat diartikan sebagai ikatan kasih sayang.



Aktivitas utama dari silaturahim adalah melakukan kunjungan fisik kepada kerabat, mitra dan tetangga untuk saling berbagi maaf. Wujud silaturahim bisa juga dengan saling tolong menolong dan menjenguk orang yang sakit.



Berbagai gangguan atau hambatan bisa membuat kita enggan bersilaturahim. Mungkin sempat terlintas di pikiran kita untuk tidak bersilaturahim jika keluarga atau orang bersangkutan tidak mau memulakan terlebih dahulu. Pikiran seperti ini adalah salah satu penghambat pertumbuhan silaturahim.



Silaturahim tidak hanya sekadar mendatangi saudara, kerabat atau kenalan dengan pertemuan yang penuh basa-basi. Pertemuan dalam silaturahim bertujuan untuk mengukuhkan persaudaraan. Ketika bersilaturahim, kita dapat berbagi pengalaman, bercerita tentang masalah yang kita hadapi dan menyimak masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh orang-orang di sekitar kita. Dengan bersilaturahim, masalah apapun yang menimpa dapat kita hadapi dengan ketegaran dan kita dapat saling mengingatkan untuk tidak berputus asa dalam menghadapi hidup.



Pentingnya silaturahim dipertegas oleh Rasulullah saw. Beliau bersabda, “maukah kalian aku tunjuki amal yang lebih besar pahalanya daripada salat dan puasa?” Para sahabat menjawab, “tentu saja.” Rasulullah saw. bersabda lagi, “engkau damaikanlah orang-orang yang bertengkar.” Artinya, menyambung persaudaraan yang terputus atau mempertemukan kembali saudara-saudara yang berpisah adalah amal saleh yang pahalanya besar.


Silaturahim memiliki banyak manfaat. Manfaat serta keutamaan silaturahim seperti yang ditegaskan oleh Rasulullah saw. antara lain 1) Silaturahim adalah bukti keimanan seseorang terhadap Allah SWT dan hari akhir (H.R. Bukhari, dari Abu Hurairah r.a.). 2) Silaturahim merupakan salah satu sebab yang dapat mendekatkan hubungan antara seorang hamba dengan Allah SWT (H.R. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah r.a.). 3) Silaturahim dapat mengantarkan manusia ke surga (H.R. Bukhari dan Muslim, dari Abu Ayyub al-Anshari r.a.). 4) Silaturahim adalah sebab bertambahnya berkah pada usia dan terbukanya pintu rezeki (H.R. Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik r.a.). 5) Silaturahim adalah ajang melaksanakan salah satu wasiat Rasulullah saw. yang berharga, sebagaimana wasiatnya kepada Abu Dzar r.a. (H.R. Thabrani, dari Abu Dzar r.a.). 6) Silaturahim menghadiahkan pahala bagi yang melakukannya dan mengakibatkan siksa bagi yang melupakan atau meninggalkannya (H.R. Baihaqi, dari Abu Hurairah r.a.). 7) Orang yang meninggalkan silaturahim tidak diterima amalannya (H.R. Ahmad, dari Abu Hurairah r.a.). 8) Silaturahim adalah etika dan ahlak yang paling utama bagi manusia di dunia maupun di akhirat (H.R. Hakim, dari Uqbah bin Amir r.a.). 9) Rahmat yang diturunkan Allah akan terhalang bagi orang yang meninggalkan silaturahim (H.R. Bukhari). Wallahualam.

***

Penulis
DEDE NURROSYID
Penulis/editor artikel dan buku

   
 
Mudik dan Urbanisasi
Oleh Dede Nurrosyid
 
Adakah fenomena yang lebih menarik untuk diperhatikan melebihi peristiwa mudik Lebaran? Bisa jadi ada. Namun, perhatian kita pada umumnya hampir selalu tersita oleh urusan mudik. Jauh-jauh hari berbagai media telah memberitakan urusan mudik. Pemberitaan demikian tidak keliru karena jutaan penduduk kota akan selalu mementingkan mudik saat Lebaran tiba.

Mudik berarti pulang ke udik atau kampung halaman. Para pemudik tidak hanya mudik dari Jakarta ke Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera. Mahasiswa yang kuliah di Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Malang justru mudik ke Jakarta karena orangtua mereka bermukim di situ. Dari Medan, Padang, Palembang dan Batam pun ada orang yang mudik ke Jakarta. Dengan kata lain, arus mudik bukan hanya dari Jakarta, melainkan juga dari berbagai kota di Indonesia ke Jakarta.
     
Sebagian besar orang kota berasal dari kota lain yang lebih kecil atau malah dari desa. Mereka punya kampung halaman. Lebaran adalah saat terbaik untuk mereka menengok kampung halaman, mengunjungi saudara dan kerabat, dan merasakan kembali suasana lingkungan yang telah mengasuh dan membesarkan mereka.

Bagi para pendatang ini membayangkan mudik akan selalu membuat mata berseri dan wajah berbinar. Kampung halaman masih jauh, begitu pula hari untuk mudik. Namun, kebahagiaan mudik sudah mulai didapatkan. Para calon pemudik sudah mulai menyiapkan diri beberapa minggu sebelumnya. Barang-barang yang perlu dibawa mudik mulai didaftar. Bila perlu malah beli barang baru khusus untuk dibawa mudik.

Tepat pada hari-H, perhatian pun ditumpahkan untuk mudik. Seluruh keluarga sibuk dengan kegiatan semacam hajatan tahunan terpenting itu. Kesulitan apapun tak menjadi persoalan. Berjejal-jejal untuk berebut tempat di kereta api, terjebak dalam antrean macet, hingga badan meriang akibat terpaan angin campur debu dan asap knalpot saat mengendarai motor ratusan kilometer, semua itu tak menjadi persoalan. Semua kesulitan itu dihadapi dengan kegembiraan demi satu hal: kembali ke kampung halaman.

 
Lazimnya, jalur yang digunakan para pemudik ada tiga, yakni darat, laut dan udara. Jalur mudik melalui darat--khususnya dengan kendaraan bermotor--biasanya yang paling seru. Tidak mengherankan kalau jalur pantai utara Jawa sering dilanda kemacetan.

Seiring dengan kegiatan mudik, media cetak dan perusahaan tertentu mengeluarkan peta mudik untuk membantu pemudik. Selain menerangkan jalan-jalan alternatif, peta itu juga mencantumkan informasi penting bagi pemudik, seperti lokasi pompa bensin (SPBU), ATM dan kantor polisi.

Ada arus mudik berarti ada juga arus balik. Pada kegiatan balik ini biasanya disertai dengan arus migrasi penduduk desa ke kota. Meski sering dibicarakan tiap tahun, arus urbanisasi tampaknya sulit untuk dikendalikan. Urbanisasi menjadi tema yang selalu dibicarakan begitu Lebaran usai.

Fenomena urbanisasi tidak lepas dari prospek lapangan kerja di perkotaan yang cukup terbuka. Dengan berbekal ijasah SMP atau SMA, orang-orang berangkat dan ikut dengan sanak keluarga atau tetangga mereka ke kota. Tidak jarang, mereka juga nantinya menjadi batu loncatan bagi kerabat dan tetangganya dari desa untuk mencari pekerjaan di kota. Saat pulang kampung, mereka juga menjadi pembawa kabar peluang pekerjaan di kota.
  
Sebab lain orang-orang itu datang ke kota adalah karena tergiur oleh kesuksesan yang diraih warga daerah asalnya yang migrasi ke kota, meski tidak sedikit yang pulang kampung mengalami kegagalan menaklukkan kehidupan kota. Biasanya para perantau pulang ke daerah asalnya setelah menuai sukses atau sedikit berkembang. Sebelum meraih sukses, biasanya para perantau enggan pulang kampung karena berbagai alasan. Memang, nasib para perantau berbeda-beda.

***

Penulis
DEDE NURROSYID
Penulis/editor artikel dan buku



Makna Idul Fitri
Oleh Dede Nurrosyid
 

Dalam literatur-literatur Islam, Idul Fitri disebut sebagai Idul Ashgar (hari raya kecil), sedangkan Idul Adha disebut Idul Akbar (hari raya besar). Umat Islam di Indonesia selalu terlihat lebih semarak merayakan Idul Fitri dibandingkan hari-hari besar lain, termasuk dengan Idul Adha sekalipun.



Dari sisi etimologis, Idul Fitri terdiri dari dua kata. Kata pertama adalah 'id yang dalam bahasa Arab berarti kembali, diambil dari asal kata 'ada. Hal ini menunjukkan bahwa Hari Raya Idul Fitri selalu berulang dan kembali datang setiap tahun.



Kata yang kedua adalah Fitri. Fitri atau fitrah dalam bahasa Arab berasal dari kata fathara yang berarti membelah atau membedah. Bila dihubungkan dengan puasa maka kata itu mangandung makna berbuka puasa (ifthaar). Kembali kepada fitrah sering pula ditafsirkan kembali kepada kehidupan manusia yang memenuhi kehidupan jasmani dan rohaninya secara seimbang. Sedangkan kata fithrah mengandung arti yang mula-mula diciptakan Allah SWT.



Dalam terminologi Islam, Idul Fitri secara sederhana adalah hari raya yang datang berulang setiap tanggal 1 Syawal yang menandai puasa telah selesai dan kembali diperbolehkan makan dan minum di siang hari. Dengan kata lain, Idul Fitri di situ diartikan berbuka atau berhenti berpuasa yang identik dengan makan-makan dan minum-minum. Oleh karena itu tidak salah apabila Idul Fitri pun disambut dengan pesta dan kemeriahan makan-makan dan minum-minum yang tak jarang terkesan diada-adakan oleh sebagian keluarga. Terminologi seperti ini harus dijauhi dan dibenahi sebab kurang mengekspresikan makna Idul Fitri sendiri.



Idul Fitri seharusnya dimaknai sebagai kepulangan seseorang kepada fitrah asalnya yang suci sebagaimana baru saja dilahirkan dari rahim ibu. Secara metafor, kelahiran kembali ini berarti seorang Muslim yang selama sebulan melewati Ramadan dengan puasa dan segala ragam ibadah lainnya harus mampu kembali berislam serta bersih dari segala dosa dan kemaksiatan.



Idul Fitri berarti kembali pada naluri kemanusiaan yang murni, kembali pada keberagamaan yang lurus, dan kembali dari segala kepentingan duniawi yang tidak Islami. Inilah makna Idul Fitri yang sebenarnya.


Suatu kesalahan besar apabila Idul Fitri dimaknai dengan perayaan kembalinya kebebasan makan dan minum, sehingga yang tadinya dilarang makan siang kemudian setelah hadirnya Idul Fitri akan balas dendam dengan cara makan dan minum secara berlebihan. Atau dimaknai sebagai kembalinya kebebasan berbuat maksiat yang tadinya dilarang dan ditinggalkan, kemudian karena Ramadan sudah usai maka kemaksiatan kembali ramai-ramai digalakkan. Kesalahan dalam memaknai idul fitri itu pada akhirnya akan menimbulkan sebuah fenomena manusia yang saleh secara musiman, bukan manusia yang berupaya mempertahankan kefitrian dan nilai ketakwaan.

***

Penulis
DEDE NURROSYID
Penulis/editor artikel dan buku

  

Kandungan Makna Lebaran Ketupat
Oleh Dede Nurrosyid

Idul Fitri adalah hari penuh makna bagi umat Islam. Hari Raya itu ditunggu oleh umat Islam, namun sebagian ada yang sedih karena Ramadan akan berlalu dan belum tentu tahun depan bisa menjalani puasa Ramadan. Yang jelas, di hari Idul Fitri umat Islam bersuka cita, saling memaafkan dan bersilaturahim.


Tetapi, adakah momen penting lain yang ditunggu umat Islam di Tanah Air setelah Idul Fitri? Ada. Momen yang dimaksud adalah Lebaran Ketupat atau disebut juga Bodho Kupat atau Kupatan.

 
Asal usul Lebaran Ketupat tidak banyak diketahui. Sebagian ada yang mengatakan bahwa Lebaran Ketupat sebagai tradisi murni. Ada juga yang mengatakan bahwa Lebaran Ketupat sebagai lebarannya orang-orang yang berpuasa enam hari di bulan Syawal (puasa Syawal). Yang jelas, Lebaran Ketupat tidak disyariatkan oleh agama Islam. Lebaran ini semata-mata adalah tradisi masyarakat lokal.

   

Lebaran Ketupat diperingati oleh sebagian umat Islam di Indonesia. Sebagian besar umat Islam di Jawa yang memeriahkan Lebaran Ketupat antara lain penduduk di daerah Blora, Rembang, Kudus, Pati dan Jepara. Daerah-daerah di sebelah barat Semarang, seperti Kendal, Kaliwungu dan Weleri juga memperingatinya. Untuk penduduk di luar Jawa, yang memperingati Lebaran ini adalah masyarakat di Gorontalo.



Lebaran Ketupat diperingati seminggu setelah Idul Fitri. Karena itulah nuansa Idul Fitri masih menyertai. Antar sesama masih ada yang bersalaman dan bermaafan, terutama bagi mereka yang belum sempat melakukannya di Idul Fitri.



Meski dinamakan Lebaran, Kupatan tidak semeriah Lebaran di Idul Fitri. Peringatannya pun berbeda, antara lain pada Kupatan tidak digelar salat Id dan kumandang takbir. Namun terdapat ciri yang sangat menonjol di Lebaran Ketupat, yakni makanan ketupat dan lepet plus sayur lodeh untuk menyantap ketupat. Karena itulah hari raya lokal ini disebut Lebaran Ketupat.



Lebaran Ketupat disambut oleh masyarakat dengan aktivitas menyiapkan janur (daun kelapa) yang sudah berwarna hijau tua dan masih muda (berwarna kuning). Daun kelapa yang berwarna hijau tua digunakan untuk membuat ketupat, sedangkan janur kuningnya digunakan untuk membuat lepet. Selain itu tak ketinggalan beras dan beras ketan. Beras sebagai bahan membuat ketupat, sedangkan beras ketan untuk lepet.



Ketupat dan lepet sarat akan filosofi. Keduanya memiliki filosofi tinggi. Namun, memaknai keduanya secara filosofis juga tidak lepas dari perbedaan.



Ada yang mengatakan bahwa kupat (dalam bahasa Indonesia menjadi ketupat, berasal dari Jawa) merupakan singkatan dari dua kata, yakni ngaku lepat (mengakui kesalahan) atau aku lepat (aku salah). Dari makna ini tersirat sebuah nilai luhur, yakni tawadu (rendah diri). Karena mengaku salah secara tulus ikhlas merupakan ciri dari orang yang tawadu.



Ada juga sebagian masyarakat yang mengartikan kupat dengan laku sing papat (keadaan yang empat). Keadaan empat yang dimaksud adalah lebar, lebur, luber dan labur. Lebar berarti selesai puasanya sehingga menjadi lebur (terhapus dosanya). Luber berarti tumpah ruah, maksudnya adalah selain lebur dosanya, orang-orang yang berpuasa mendapat pahala yang tumpah ruah. Dengan demikian, wajah-wajah mereka menjadi bersih alias labur.


Adapun lepet berasal dari kata luput yang berarti salah. Jadi, kupat dan lepet merupakan simbol pengakuan dosa yang dimiliki setiap orang. Karena bersalaman saja tidak cukup menjadi media penebusan dosa maka dibuatlah kupat dan lepet sebagai simbolnya.
Kupat memiliki bentuk bermacam-macam. Ragamnya bentuk kupat itu juga memiliki makna tersendiri. Kupat ayam jago, persegi panjang, rumah, masjid dan sebagainya menandakan bahwa memaafkan dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. **(Dari berbagai sumber).

 
***

Penulis
DEDE NURROSYID
Penulis/editor artikel dan buku


Pilihan